Versi Singapura, nama KRI Usman-Harun menyakiti perasaan mereka sehingga selayaknya diganti saja. Keberatan Singapura dilatarbelakangi oleh peristiwa konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962-1966. Saat itu Singapura masih bagian dari Malasysia.
Akibat konfrontasi tersebut, pada 10 Maret 1965 dua anggota Korps Komando atau KKO (kini Marinir) Indonesia, yakni Usman Haji Muhammad Ali dan Harun Said melakukan pengeboman di MacDonald House, Orchard Road, Singapura, yang menewaskan tiga orang dan melukai 33 lainnya.
Keduanya, tertangkap setelah melakukan pengeboman dan gugur setelah dihukum mati oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968. Jenazahnya lalu dikirim ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena mereka diangkat sebagai pahlawan nasional.
Indonesia, dalam hal ini TNI AL, Markas Besar TNI, dan Kementerian Pertahanan, tidak menanggapi keberatan Singapura itu. Bentuk protes Singapura, mereka mencabut undangan delegasi petinggi Kementerian Pertahanan dan TNI untuk turut dalam dialog pertahanan di sela Singapore Air Show 2014.
Terlepas dari perselisihan yang dihembuskan Singapura itu, ketiga korvet baru TNI AL itu sebetulnya menyimpan potensi yang tidak kalah menakutkan lawan di perairan kedaulatan Tanah Air dengan persenjataan sedikit di atas korvet.
Sebelum diakuisisi Indonesia, ketiga kapal perang tipe F2000 Corvette buatan BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, itu adalah pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam, yang benar-benar dipesan baru sama sekali, yaitu KDB Jerambak-30 (menjadi KRI Bung Tomo-357), KDB Nakhoda Ragam-28 (KRI John Lie-358), dan KDB Bendahara Sakam-29 (KRI Usman-Harun-359).
Galangan kapal di Scouton, Glasgow, ini menempatkan ketiga kapal perang pesanan Brunei Darussalam itu pada kelas corvette offshore patrol alias korvet patroli lepas pantai.
Saat dipesan pada 1995 itu, konflik perairan berawal dari klaim sepihak China atas Laut China Selatan belum mengemuka seperti sekarang walau gejala ke arah sana mulai terlihat.
Brunei Darussalam, bersama Malaysia, Vietnam, dan Filipina adalah negara-negara yang berang atas keserakahan China yang ingin mengangkangi secara sepihak hampir semua wilayah Laut China Selatan, pun memamerkan kekuatan militernya –kemudian– secara terang-terangan.
Akan tetapi, ketiga kapal itu tidak pernah dioperasikan mereka. Sumber menyatakan, kapal-kapal perang itu “pengembangan” dari kapal perang kelas patroli berpeluncur peluru kendali yang berbasis operasi di perairan littoral belaka.
TNI AL memiliki kelas ini, yaitu kelas patrol ship killer, baik buatan Korea Selatan ataupun buatan dalam negeri. Sebutlah KRI Pandrong-801 atau KRI Todak-631, yang mampu membawa peluru kendali MM-38 Block III Exocet atau peluru kendali Penguin, pun Sea Cat buatan Inggris.
Kontrak kepada BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, dimulai sejak 1995. Rancangan F2000 dimulai dan badan kapal dibangun dimulai, dengan peluncuran berturutan pada Januari 2001, Juni 2001, hingga Juni 2002. Dalam perjalanan kemudian, Brunei Darussalam memutuskan tidak mau menerima ketiga kapal baru pesanannya padahal sudah dibayarkan lunas.
Versi Brunei Darussalam, mereka tidak memiliki personel pengawak untuk kapal perang seukuran panjang 89 meter, lebar 12,8 meter, dan draught 3,6 meter itu. Tiap kapal memerlukan 79 personel termasuk sang komandan kapal.
Juni 2007 sebetulnya bulan yang ditulis dalam kontrak pembelian kapal-kapal perang itu untuk penyerahterimaan kapal kelas KDB Nakhoda Ragam ini dari galangan kapal di Inggris kepada Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam.
Brunei Darussalam akhirnya memutuskan memesan lagi kapal perang baru pengganti di kelas ini, dan meminta jasa galangan kapal German Lürssen untuk mencari pembeli baru. Di sinilah kemudian Indonesia hadir
No comments:
Post a Comment